Seorang kakek berusia 78 tahun baru-baru ini dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun dan denda sebesar 1.600 euro karena terlibat dalam aksi penguntitan terhadap seorang gelandang terkenal dari Napoli. Kasus ini menggugah perhatian publik, mengingat ketidaknormalan usia pelaku dan sifat tindak kejahatan yang dilakukannya.
Di samping gelandang tersebut, seorang wanita bernama Shanna W. yang menderita penyakit jaringan ikat juga menjadi korban penguntitan. Kasus ini mencerminkan bagaimana tindakan kriminal dapat terjadi pada segala usia dan melibatkan beragam individu tanpa terkecuali.
Penguntitan sebagai Fenomena Sosial
Penguntitan bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh. Tindak kejahatan ini sering kali mengganggu kehidupan korban secara psikologis dan emosional. Dalam hal ini, pengadilan tidak hanya menjatuhi hukuman, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap korban. Pihak pengadilan mengklaim bahwa hukuman yang dijatuhkan memiliki tujuan rehabilitatif bagi pelaku, terutama mengingat usianya yang sudah lanjut.
Berdasarkan data terbaru, penguntitan menjadi semakin umum di era digital, di mana media sosial memberikan akses yang lebih besar kepada pelaku untuk mengawasi dan menghubungi korban. Pengadilan di Hasselt memutuskan untuk memberikan masa percobaan kepada kakek tersebut, di mana selama tiga tahun ia dilarang menghubungi korban, baik secara langsung maupun lewat berbagai media komunikasi. Ini tentu merupakan langkah yang tepat untuk meminimalkan risiko terulangnya tindakan serupa di masa depan.
Strategi Penanganan Kasus Penguntitan
Penanganan kasus penguntitan memerlukan pendekatan yang holistik, melibatkan tak hanya aspek hukum tetapi juga dukungan psikologis bagi korban. Dalam kasus ini, tindakan kakek tersebut cukup ekstrem, mulai dari meninggalkan surat di rumah korban hingga berusaha menghubungi mereka dengan cara yang repetitif. Upaya pelaku untuk sembuh atau mendekati korban dengan klaim sebagai ‘health resetter’ menunjukkan bahwa banyak aspek dari tindakan penguntitan bisa berasal dari keyakinan pribadi yang tidak realistis.
Penting untuk memetakan kasus-kasus seperti ini agar dapat memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama mengenai bahaya penguntitan dan bagaimana cara melindungi diri. Para ahli menyarankan pelatihan bagi aparat hukum untuk memahami secara mendalam tentang dampak psikologis dari penguntitan, serta memberikan dukungan yang sesuai untuk korban agar dapat pulih dengan baik.
Cara pendekatan yang lebih empatik kepada pelaku, meskipun mungkin terdengar tidak biasa, bisa menjadi solusi untuk memecahkan masalah secara lebih luas. Kasus ini menjadi pengingat bahwa tindakan kriminal dapat muncul dari berbagai latar belakang dan psikologi individu, sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih dalam dan strategi yang solid dalam penanganannya.