Korupsi merupakan masalah serius yang telah menggerogoti berbagai sektor di negara ini. Dalam upaya untuk meningkatkan efektivitas penanganan kasus korupsi, pembahasan mengenai Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi sangat krusial. Dalam konteks ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengidentifikasi setidaknya 17 poin permasalahan penting yang perlu diperhatikan dalam RKUHAP yang sedang dibahas di DPR RI.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran KPK dalam memastikan bahwa regulasi yang baru tidak hanya efektif, tetapi juga memenuhi kebutuhan khusus penanganan kasus pidana korupsi yang unik dan kompleks. Apakah perubahan ini akan membawa dampak positif dalam pemberantasan korupsi, atau justru sebaliknya?
Urgensi RKUHAP dalam Penanganan Korupsi
Dalam konteks RKUHAP, terdapat beberapa isu krusial yang menyangkut penanganan dan pencegahan tindak pidana korupsi. Salah satu masalah yang paling disorot adalah pengabaian sifat kekhususan dalam penanganan kasus korupsi, atau yang dikenal dengan istilah lex specialis. Penyebabnya adalah sifat korupsi yang dianggap sebagai extraordinary crime, yang tentunya memerlukan pendekatan hukum yang khusus dan terfokus.
Data dari berbagai kajian menunjukkan bahwa pengabaian terhadap karakteristik khusus dari tindak pidana korupsi dapat mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Misalnya, tidak adanya instrumen hukum yang tegas untuk menangani kasus korupsi dapat memberi ruang bagi para pelaku untuk beroperasi tanpa rasa takut. KPK, melalui narasi yang disampaikan Juru Bicara Budi Prasetyo, menegaskan perlunya adanya upaya hukum yang lebih mạnh dalam menangani korupsi yang berbeda dari tindak pidana lainnya.
Analisis Terhadap Masukan KPK Terkait RKUHAP
Selain aspek lex specialis, terdapat beberapa keberatan lain yang mencuat dari pihak KPK. Misalnya, ketentuan mengenai larangan bepergian ke luar negeri hanya bagi tersangka terpidana, yang dirasa terlalu sempit, mengingat bahwa saksi dan pihak terkait seharusnya juga termasuk dalam pengaturan tersebut. Menurut Undang-undang KPK, hal ini sangat penting untuk memastikan stabilitas proses hukum dan menghindari indikasi penghindaran hukum dari pihak-pihak yang berpotensi terlibat.
Dalam hal penyelidikan, KPK juga mengungkapkan keberatan terkait regulasi penyadapan yang disebutkan dalam RUU tersebut. Dalam draf RKUHAP, penyadapan hanya boleh dilakukan pada tahap penyidikan dan membutuhkan izin dari pengadilan daerah, sementara praktik yang telah dilakukan KPK selama ini memperbolehkan penyadapan sejak tahap penyelidikan tanpa adanya izin. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas regulasi baru yang diusulkan.
Dengan adanya perubahan yang diusulkan, dikhawatirkan bahwa kewenangan penyelidik KPK akan tereduksi. Sebagaimana disampaikan Budi, penyelidik dalam RUU baru hanya diizinkan untuk mencari peristiwa tindak pidana, sedangkan di KPK, penyelidik telah memiliki kapasitas untuk mengumpulkan bukti yang lebih komprehensif, setidaknya dua alat bukti sebelum melakukan tindakan lebih lanjut. Ini bisa menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum yang lebih luas dan efektif.
Ulasan KPK ini menjadi masukan berharga yang akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk Presiden dan DPR, demi tercapainya rancangan undang-undang yang lebih baik. Mengingat kompleksitas kasus korupsi yang dihadapi dan tantangan hukum yang ada, sangat penting bagi pembuat kebijakan untuk membuat regulasi yang tidak hanya memenuhi kebutuhan formal, tetapi juga mendukung pemberantasan korupsi secara nyata.