Krisis kelaparan yang melanda wilayah Gaza menjadi isu yang sangat mendesak. Tak hanya berdampak pada masyarakat umum, tenaga medis yang berjuang di garis depan juga terjerat dalam siklus penderitaan ini. Dalam situasi yang penuh tekanan, banyak dokter dan tenaga kesehatan yang tidak hanya harus menghadapi pasien, tetapi juga berjuang melawan kelaparan dan kelelahan mereka sendiri.
Berdasarkan pengakuan Dr. Mohammad Saqer, seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Nasser, banyak tenaga medis yang pingsan akibat kelelahan dan kurangnya asupan gizi. Hal ini menggambarkan betapa seriusnya krisis ini, di mana para penyelamat itu sendiri terpaksa berjuang untuk bertahan hidup.
Kondisi Tenaga Medis yang Kritis
Dokter Mohammad Saqer menceritakan pengalamannya ketika ia pingsan di tengah tanggung jawabnya. Setelah mendapatkan pertolongan dari rekan-rekannya, ia kembali bekerja setelah menerima infus dan gula. Ia mengungkapkan, “Saya bukan penderita diabetes. Ini karena kelaparan. Tidak ada gula. Tidak ada makanan.” Situasi di Rumah Sakit Nasser menjadi semakin ironis, dengan tenaga medis yang seharusnya menyelamatkan pasien malah dalam kondisi kesehatan yang memburuk.
Penting untuk mencatat bahwa tidak hanya satu dokter mengalami hal ini. Jumlah tenaga medis yang pingsan di rumah sakit tersebut terus bertambah dari hari ke hari. Stres yang dihadapi oleh dokter dan perawat sangat besar, karena mereka dituntut untuk merawat orang lain yang juga mengalami kelaparan dan kelelahan. Beberapa dokter bahkan mengibaratkan kondisi ini sebagai “orang yang lelah merawat orang lain yang lelah”. Melihat situasi ini, kita dituntut untuk memahami sejauh mana dampak dari krisis ini bukan hanya soal makanan, tetapi juga bagaimana kesehatan mental tenaga medis terpengaruh.
Dampak Krisis Terhadap Kesehatan Mental dan Fisik
Kondisi serupa juga diungkapkan oleh Ahmad Al-Farra, direktur Rumah Sakit Al-Tahrir, yang menjelaskan bahwa banyak tenaga medis merasa depresi dan kesulitan berkonsentrasi. Tanpa asupan makanan yang memadai, mereka dipaksa untuk bekerja sepanjang waktu dengan perut kosong. Hal ini membuat kemampuan mereka untuk merawat pasien menurun drastis, dan dapat berakibat fatal bagi keselamatan pasien.
Pasokan makanan di rumah sakit makin menipis, dengan dapur rumah sakit kehabisan bahan makanan. Dapur kemanusiaan internasional yang biasanya menjadi penyokong utama juga terpaksa menghentikan operasi karena kekurangan bahan. Akibatnya, banyak dokter dan perawat bekerja tanpa akses terhadap makanan yang cukup, berpotensi menyebabkan lebih banyak kasus pingsan dan kelelahan di antara mereka. PBB telah melaporkan bahwa seluruh penduduk di Gaza, sekitar 2,1 juta jiwa, saat ini berada dalam situasi rawan pangan dan tidak dapat mengakses makanan yang bergizi.
Data terkini menunjukkan bahwa 900 ribu anak di Gaza mengalami kelaparan, dengan 70 ribu anak lainnya menunjukkan gejala malnutrisi. Ini menambah beban emosional yang dirasakan oleh tenaga medis yang harus menghadapi kenyataan pahit saat mereka sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Dengan lebih dari 100 organisasi kemanusiaan internasional mengeluarkan peringatan tentang kondisi ini, jelas bahwa situasi di lapangan sangat memprihatinkan.
Sekretaris Jenderal PBB mengecam komunitas internasional atas ketidakpedulian terhadap nasib warga Gaza. Ia menyebut situasi ini sebagai kegagalan moral dan mengutuk kurangnya solidaritas global. Pidato Guterres mengingatkan kita semua akan pentingnya aksi kemanusiaan dan ketulusan untuk membantu mereka yang dalam kesulitan.