Kebijakan pemblokiran rekening yang tidak aktif oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) akhir-akhir ini menarik perhatian besar di masyarakat. Mengapa sampai sejauh itu? Pada prinsipnya, pemblokiran rekening yang tidak aktif atau dormant ini dilakukan untuk mengamankan sistem keuangan dan mencegah kejahatan.
Perlu dicatat bahwa PPATK telah melakukan langkah ini sejak 15 Mei lalu. Namun, baru-baru ini perhatian publik meningkat ketika banyak nasabah mendapati rekening mereka terblokir tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Hal ini tentunya memunculkan pertanyaan mengenai transparansi dan proses komunikasi antara lembaga dan masyarakat.
Pemblokiran Rekening Dormant: Rencana dan Alasan di Baliknya
Dalam sebuah penjelasan melalui media sosial, PPATK menyatakan bahwa pemblokiran tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dan sistem keuangan nasabah. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, lembaga ini berwenang untuk menghentikan transaksi pada rekening-rekening yang tidak aktif dalam jangka waktu tertentu. Salah satu alasan utama mereka melakukan ini adalah peningkatan kasus kejahatan terkait rekening dormant di Indonesia.
Pada Selasa (29/7), PPATK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan 140 ribu rekening yang telah tidak aktif selama lebih dari 10 tahun. Nilai total yang terakumulasi dalam rekening-rekening tersebut mencapai Rp428,61 miliar. Menyikapi kondisi ini, PPATK menganggap penting untuk mengambil langkah preventif agar dana tersebut tidak jatuh ke tangan yang salah.
Proses Pengajuan Keberatan dan Tindak Lanjut
Meski sejumlah rekening telah diblokir, PPATK menyediakan peluang bagi nasabah untuk mengajukan keberatan. Masyarakat dapat melakukannya dengan mengisi formulir daring yang telah disediakan, di mana permohonan akan diproses selama lima hingga 20 hari. Jika tidak ada indikasi kejahatan, rekening tersebut bisa diakses kembali.
Tentunya, langkah semacam ini menimbulkan keberagaman pandangan dari berbagai kalangan, termasuk pakar ekonomi. Beberapa di antaranya mengkritik keputusan PPATK dan menilai tindakan tersebut melampaui kewenangan yang ada. Di satu sisi, langkah ini dianggap perlu untuk menjaga keamanan finansial, tetapi di sisi lain, menjadi sorotan bagi praktik transparansi lembaga.
Jumlah rekening yang telah diblokir mencapai 31 juta dengan total nilai uang yang terblokir menembus Rp6 triliun. Hal ini memberikan gambaran yang jelas mengenai betapa besar dampak dari kebijakan ini terhadap nasabah. Sementara itu, Presiden mengingatkan bahwa hal ini perlu ditangani secara proporsional dan transparan agar tidak merugikan pihak masyarakat yang tidak terlibat dalam tindakan ilegal.
Kesimpulannya, langkah PPATK untuk memblokir rekening-rekening dormant merupakan upaya preventif yang memiliki tujuan mulia, seperti melindungi masyarakat dari potensi kehilangan dana. Namun, ada perluasan pandangan mengenai keefektifan dan pelaksanaan kebijakan ini, serta bagaimana PPATK dapat berkomunikasi lebih baik dengan masyarakat agar tidak ada kebingungan dan kekecewaan di kemudian hari.