Jakarta —
Perdana Menteri Israel berencana untuk menaklukkan secara penuh Jalur Gaza, Palestina, melalui operasi baru meski banyak penolakan dari kalangan militer dan oposisi politik. Rencana ini tampaknya menjadi agenda utama yang akan diupayakan Netanyahu meskipun banyak suara yang menentangnya.
Di tengah pertemuan dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Eyal Zamir, rencana operasi skala besar di Gaza tengah dibahas. Akan tetapi, Zamir memperingatkan bahwa tindakan ini bisa membuat pasukan Israel terjepit di wilayah konflik, yang semakin memperuncing situasi.
Pertahanan Militer dan Penentangan
Pihak oposisi, termasuk mantan Perdana Menteri Yair Lapid dan keluarga dari warga Israel yang disandera oleh Hamas, menunjukkan penolakan yang kuat terhadap rencana agresif ini. Dalam pernyataan mereka, terdapat kekhawatiran yang mendalam mengenai dampak dari rencana tersebut, baik untuk Israel maupun bagi warga sipil di Gaza.
Berdasarkan data terbaru, banyak mantan anggota militer tergabung dalam surat terbuka yang meminta Presiden Amerika Serikat untuk menggunakan pengaruhnya, agar konflik di Gaza segera diakhiri. Dalam dokumen ini, mereka berpendapat bahwa Hamas sekarang tidak lagi menjadi ancaman strategis bagi negara Israel.
Organisasi Komandan Keamanan Israel (CIS) yang menghimpun banyak mantan jenderal pun sependapat dengan pandangan tersebut. Sementara itu, kondisi mental pasukan yang dikerahkan ke Gaza juga menjadi perhatian, dengan banyak yang mengalami gangguan seperti PTSD akibat pengalaman di lapangan.
Motivasi Politik di Balik Operasi
Mengingat situasi ini, timbul pertanyaan: mengapa Netanyahu tetap bersikeras untuk melanjutkan rencana ambisius ini, yang berpotensi meningkatkan eskalasi konflik lebih jauh? Beberapa pihak berpendapat bahwa keputusan ini berkaitan dengan keinginannya untuk mendapatkan dukungan dari basis politiknya yang konservatif.
Sejumlah pengamat politik menilai bahwa kebijakan ini adalah strategi untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah yang lebih mendesak di dalam negeri. Kasus korupsi yang dihadapi Netanyahu, beserta tekanan dari oposisi yang semakin meningkat, menjadi alasan mengapa ia perlu waktu lebih untuk mempertahankan posisinya.
Dari sudut pandang strategis, langkah terus-menerus ini bukan hanya tentang keberhasilan militer, namun lebih kepada mempertahankan dukungan dari pendukung setia di kalangan sayap kanan. Hal ini terlihat pada kecenderungan Netanyahu untuk mengabaikan opini publik yang menentang operasi ini.
Dengan semua tekanan yang ada, Netanyahu tampaknya ingin memastikan bahwa basis pendukungnya tetap solid sebelum menghadapi pemilu yang akan datang. Ini adalah pola yang tidak asing lagi, di mana ia telah berhasil memanfaatkan ketegangan untuk memperpanjang kekuasaan politiknya.
Terakhir, hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas warga Israel melihat Netanyahu lebih memprioritaskan posisi perdana menteri daripada mengedepankan penyelesaian konflik yang berkelanjutan. Pemikiran ini semakin menambah ketegangan di tengah masyarakat, di mana ada harapan untuk perdamaian yang sebenarnya dan berkelanjutan.