Rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia menjadi sorotan utama dalam pembahasan pendidikan saat ini. Kegiatan belajar mengajar di jenjang universitas masih belum dapat menjangkau sebagian besar masyarakat, dengan hanya sekitar 30-40 persen dari kelompok usia 19-23 tahun yang berpartisipasi. Ini menunjukkan adanya ketimpangan yang signifikan antara jenjang pendidikan dasar dan tinggi yang perlu diperbaiki.
Angka partisipasi yang rendah ini memicu berbagai pertanyaan mengenai sistem pendidikan kita. Mengapa masih banyak siswa yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Apakah faktor ekonomi, sosial, atau konteks lokal yang berperan dalam isu ini? Memahami akar permasalahan ini menjadi penting untuk menciptakan solusi yang lebih efektif.
Ketimpangan Partisipasi Pendidikan di Berbagai Jenjang
Berdasarkan data terbaru dari BPS, partisipasi sekolah pada jenjang SD masih mencatat angka yang baik, yaitu lebih dari 99 persen. Namun, ketika memasuki SMP dan SMA, angka partisipasinya mengalami penurunan, di mana SMA hanya mencapai tingkat antara 70-85 persen. Sementara itu, partisipasi pendidikan tinggi anjlok ke level 30-40 persen. Ini menunjukkan adanya jembatan yang harus dibangun untuk menghubungkan jenjang-jenjang pendidikan tersebut.
Salah satu faktor penyebab rendahnya partisipasi di pendidikan tinggi adalah kualitas pendidikan yang bervariasi di berbagai daerah. Di daerah seperti Papua, rata-rata lama sekolah hanya mencapai 5,10 tahun, yang berarti banyak penduduk masih tergolong belum menyelesaikan pendidikan dasar. Hal ini menjadi ironi ketika kita memasuki usia kemerdekaan yang ke-80 tahun. Kualitas dan akses pendidikan yang tidak merata ini menggambarkan tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai generasi yang terdidik dan siap menghadapi tantangan global.
Strategi untuk Meningkatkan Partisipasi Pendidikan Tinggi
Peningkatan partisipasi di pendidikan tinggi harus melibatkan reformasi sistem pendidikan dari hulu hingga hilir. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah memperbaiki sistem kurikulum dan mengoptimalkan kompetensi guru. Penerapan literasi digital dan penguatan karakter juga sangat penting untuk menyiapkan siswa menjadi individu yang mampu berpikir kritis dan mandiri.
Di samping itu, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih kepada daerah tertinggal dengan menciptakan program-program beasiswa atau dukungan finansial untuk meringankan beban masyarakat yang ingin melanjutkan pendidikan. Pendekatan ini bisa menjadikan pendidikan tinggi lebih terjangkau dan menarik bagi mereka yang selama ini merasa pendidikan adalah sebuah beban.
Kondisi saat ini juga diperburuk dengan adanya fenomena learning loss, yaitu penurunan kemampuan dan motivasi belajar akibat dari dampak negatif pandemi. Situasi ini menunjukkan betapa krusialnya untuk tidak hanya memulihkan kualitas pendidikan, tetapi juga untuk mendorong siswa agar berani melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
Apabila ketimpangan ini dibiarkan berlanjut, maka visi menuju Indonesia Emas 2045 akan menjadi impian belaka. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta untuk berkontribusi dalam meningkatkan akses dan kualitas pendidikan tinggi. Generasi mendatang perlu dipersiapkan dengan baik agar mampu bersaing di dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan.