Perang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 melibatkan berbagai kekuatan asing, termasuk tentara dari kerajaan Belanda dan Inggris. Dalam perjalanan sejarah ini, terdapat fakta menarik bahwa tidak semua prajurit asing bersikap antagonis. Beberapa di antara mereka malah memilih belot dan memberikan dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua orang luar yang terlibat dalam penjajahan selalu ingin melanggengkan kekuasaan. Sebagian dari mereka memiliki rasa empati yang membuat mereka berpihak pada pihak yang memperjuangkan kebebasan.
HJC Prince dan Kebangkitan Kesadaran
Salah satu tokoh yang mencolok dalam konteks ini adalah Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen, lebih dikenal dengan nama Poncke Princen. Ia lahir pada 21 November 1925 dan meninggal pada 22 Februari 2002, menorehkan sejarah sebagai pembela hak asasi manusia. Prince mulai berkarir sebagai tentara yang ditugaskan di Pulau Jawa, datang dari latar belakang yang tidak mudah saat Jerman menginvasi Belanda pada tahun 1943.
Pendidikan yang sempat terputus mengakibatkan Prince mengalami pahitnya masa isolasi ketika ia masih menempuh studi di seminari. Pada akhir tahun 1944, di bawah desakan pemerintah Belanda, dia resmi masuk dinas militer. Terjunnya ke dalam dinas militer tidak serta merta membuatnya setia pada kebijakan pemerintah Belanda, terutama setelah waktu berlalu dan Indonesia mengumumkan kemerdekaannya.
Menyaksikan kebrutalan tentara Belanda di depan matanya pada 26 September 1948 membuat Prince mengalami dilema moral yang berat. Mengingat semua itu, ia akhirnya memutuskan untuk berpaling dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keputusan ini bukan hanya berani, namun juga berakar pada keyakinannya atas apa yang benar.
Di dalam TNI, Prince aktif dalam berbagai operasi, termasuk perang gerilya, dan bahkan ikut serta dalam long march ke Jawa Barat. Konsekuensi dari keputusan ini cukup besar, termasuk kehilangan orang-orang terkasih, seperti istrinya yang tewas dalam serangan tentara Belanda. Hal ini semakin memperkuat dedikasi dan semangatnya untuk berjuang demi kemerdekaan.
Tokoh Pembelot Lain dan Transformasi Identitas
Selain Prince, terdapat juga Muhammad Idjon, yang lahir dengan nama Rokus Bernardus Visser. Muncul dari latar belakang yang sama sekali berbeda, Idjon ternyata juga mengalami transisi dalam pendekatannya terhadap Indonesia. Setelah melalui berbagai pelatihan militer di Belanda dan terlibat dalam beberapa aksi, ia mengikuti jejak Prince dengan bergabung ke dalam TNI setelah Belanda meninggalkan Indonesia.
Mengubah namanya menjadi Muhammad Idjon Djanbi setelah menikah dengan seorang wanita Sunda dan memeluk agama Islam, ia menjadi simbol dari bagaimana individu bisa mengubah nasib dan identitas mereka. Di tangan Idjon, pasukan yang terlahir menjadi Kesatuan Komando (Kesko) berperan sebagai kekuatan yang meredam upaya pemberontakan dan menjaga keamanan di Jawa Barat.
Pertikaian yang berlarut-larut di Indonesia pada saat itu tidak hanya menuntut pertarungan fisik, tetapi juga kehadiran pasukan yang berpengalaman dan terlatih. Djanbi merekrut dan melatih banyak tentara muda, menunjukkan bimbingan idealis yang berharap untuk membawa perdamaian dan stabilitas. Hal ini menghasilkan titik balik bersejarah yang kelak menjadi cikal bakal Komando Pasukan Khusus.
Menarik untuk dicatat bahwa pasukan Gurkha Inggris yang terlibat dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 memiliki nasib yang sama. Alih-alih memperpanjang misi kolonial, mereka justru memilih untuk berbalik membantu pejuang kemerdekaan Indonesia, didorong oleh ikatan kemanusiaan dan kondisi sosial yang ada.
Proses ini menyiratkan bayangan yang lebih luas mengenai solidaritas internasional dan menggarisbawahi bahwa dalam perang, isyarat kemanusiaan bisa muncul dari individu yang semestinya ada di sisi berlawanan. Ini adalah pelajaran berharga bahwa tidak selamanya batasan kebangsaan memisahkan kita, tetapi kesamaan nilai kemanusiaan bisa menjembatani perpecahan yang ada.
Hasil dari semua ini menunjukkan bahwa pembelotan itu bukan semata-mata tindakan fisik, tetapi lebih pada pilihan untuk berpihak kepada yang benar. Tokoh-tokoh seperti HJC Prince dan Muhammad Idjon menjadi contoh nyata bahwa dukungan terhadap kemanusiaan dan keadilan tidak mengenal latar belakang.