Polusi udara menjadi salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Berdasarkan pernyataan dari Menteri Lingkungan Hidup, sektor transportasi berkontribusi sebesar 32 hingga 41 persen terhadap polusi udara di ibu kota. Hal ini terutama disebabkan oleh penggunaan bahan bakar minyak yang mengandung sulfur tinggi.
Beragam faktor telah berkontribusi pada tingginya kadar polusi udara, salah satunya adalah volume kendaraan yang terus meningkat. Pertanyaannya, seberapa efektif langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi masalah ini, dan apa dampak nyata terhadap kesehatan masyarakat?
Pentingnya Batas Emisi dan Standar BBM
Dari data yang ada, sebagian besar bahan bakar minyak di Indonesia mengandung sulfur jauh di atas batas yang ditetapkan oleh standar emisi Eropa, yaitu Euro V. Kira-kira 90 persen BBM di pasar memiliki kandungan sulfur di atas 1.500 ppm, sementara Euro V membolehkan maksimal hanya 50 ppm. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas bahan bakar yang digunakan di kendaraan bermotor.
Penerapan batas emisi Euro 3 untuk sepeda motor dan Euro 4 untuk mobil bensin dan diesel menjadi langkah awal yang diambil oleh pemerintah. Memang, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017 mengatur bahwa bahan bakar yang memenuhi syarat ini harus memiliki kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Sayangnya, kenyataannya masih jauh dari harapan.
Strategi dan Langkah Kedepan untuk Mengurangi Polusi
Pemerintah berencana untuk mempercepat penerapan standar Euro 5 guna menanggulangi masalah kualitas udara yang semakin memburuk. Peta jalan pengurangan emisi hingga Euro 6 diharapkan tercapai pada tahun 2027. Mengingat langkah ini sangat krusial, penting bagi masyarakat untuk memahami keuntungan dari langkah tersebut. Kualitas udara yang lebih baik akan berdampak positif pada kesehatan, mengurangi tingkat penyakit pernapasan, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Namun, pilihan bahan bakar yang memenuhi standar rendah emisi masih sangat terbatas. Hanya beberapa jenis BBM seperti Pertamina Dex, Pertamax Turbo dan Pertamina Green 95 yang memenuhi syarat tersebut. Di sisi lain, BBM subsidi seperti Pertalite dan Pertamax tidak memenuhi regulasi Euro 4 karena kandungan sulfurnya mencapai 500 ppm.
Perbincangan mengenai subsidi energi pun tak kalah menarik. Ahli menyoroti bahwa subsidi untuk BBM yang tidak ramah lingkungan justru menjadi penghambat perkembangan energi terbarukan. Dengan investasi yang seharusnya ditujukan untuk pengembangan energi bersih, malah terus digelontorkan untuk bahan bakar yang berdampak negatif terhadap lingkungan.
Dengan memperbaiki kualitas bahan bakar dan mengembangkan teknologi kendaraan yang ramah lingkungan, kita dapat secara signifikan mengurangi dampak negatif dari sektor transportasi terhadap kualitas udara. Selain itu, penting juga untuk menyadari bahwa penyumbang polusi terbesar di Jakarta tidak hanya berasal dari kendaraan. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menyumbang 14 persen, sementara sektor konstruksi dan industri masing-masing berkontribusi 13 persen dan 11 persen terhadap polusi.
Upaya untuk mengurangi polusi udara harus melibatkan segala lapisan masyarakat dan sektor terkait. Edukasi mengenai pentingnya kualitas udara bersih harus menjadi bagian dari kampanye nasional. Masyarakat perlu diberikan pemahaman mengenai cara-cara yang dapat dilakukan untuk berkontribusi dalam menjaga kebersihan udara, seperti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum atau mode transportasi ramah lingkungan lainnya.