Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Bali telah mengguncang masyarakat, terutama di Pelabuhan Benoa, dengan total 21 orang dilaporkan menjadi korban. Penyelidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimum Polda Bali berhasil membongkar jaringan ini, yang menyasar orang-orang yang sedang mencari pekerjaan sebagai Anak Buah Kapal (ABK).
Menariknya, proses berantai yang mengakibatkan terpanggilnya puluhan individu ini berawal dari sebuah permohonan evakuasi yang meragukan. Hal ini menunjukkan betapa rentannya situasi yang dihadapi oleh calon ABK di Indonesia, terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok rentan.
Penemuan Korban di Pelabuhan Benoa
Pertengahan Agustus menjadi titik balik, ketika para korban ditemukan dalam kondisi memprihatinkan di Pelabuhan Benoa. Kronologinya dimulai ketika pihak kepolisian menerima informasi mengenai ABK yang meminta bantuan untuk dievakuasi. Informasi tersebut diterima pada 29 Juli 2025, yang memicu penelusuran lebih lanjut oleh tim Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali.
Melalui audiensi dan dokumentasi testimonial di lapangan, polisi berhasil mengumpulkan bukti-bukti berupa informasi penipuan, serta metode manipulatif yang dipakai oleh pelaku untuk merekrut calon ABK. Mereka menjerat dengan iming-iming pekerjaan yang baik, namun pada kenyataannya, banyak dari mereka terjebak dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi.
Kondisi Korban yang Mengkhawatirkan
Setelah berhasil dievakuasi, para korban menjalani pemeriksaan di Polda Bali. Sebagian besar dari mereka berusia antara 18 hingga 23 tahun, mencerminkan betapa muda dan rentannya mereka. Di balik kisah pilu ini, terungkap bahwa pelaku merampas dokumen penting seperti KTP dan ponsel. Mereka dipaksa bekerja tanpa kontrak atau jaminan, bahkan hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Anehnya, setiap hari mereka hanya mendapat jatah enam bungkus mie instan, yang jika dibagi, tak lebih dari dua sendok per orang. Kesulitan lain adalah akses air bersih, di mana mereka terpaksa meminum air mentah yang diambil dari kapal.
Kondisi psikologis para korban pun tak kalah mencemaskan. Mereka seringkali merasa ketakutan, kecewa, bahkan merindukan keluarga. Kegelisahan ini diperburuk dengan ancaman apabila mereka terlihat meminta bantuan.
Kasus TPPO ini menunjukkan betapa luasnya jaringan yang beroperasi dengan modus penipuan. Target mereka bukan hanya individu dari Bali, tetapi juga berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa seperti Jawa Timur dan Jakarta. Melalui media sosial, pelaku secara sistematis merekrut calon ABK dengan janji manis yang ternyata hanya tipuan belaka.
Pihak kepolisian kini fokus pada penyelidikan lebih lanjut untuk menemukan dan menangkap para tersangka, termasuk pemilik dan pelaku yang terlibat dalam skema ini. Proses ini diharapkan dapat menyelamatkan lebih banyak korban dan memberikan keadilan bagi mereka yang telah menjadi korban TPPO.