Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun di Pakistan menjadi korban kekerasan yang tragis akibat penolakan untuk menghapus akun media sosial. Kasus ini menggambarkan bagaimana norma-norma sosial yang ketat dapat berujung pada tindakan yang ekstrem. Dalam konteks ini, media sosial seperti TikTok menjadi pusat konflik antara generasi dan tradisi.
Peristiwa ini terjadi di Rawalpindi, kota yang letaknya berdekatan dengan ibu kota Islamabad. Menurut laporan polisi, sang ayah yang melakukan tindakan kekerasan tersebut merasa bahwa putrinya telah melanggar norma yang dianggap penting untuk dijaga demi “kehormatan keluarga”. Hal ini mengundang perhatian publik dan memperlihatkan betapa rumitnya hubungan antara keluarga dan media sosial di berbagai budaya.
Pembunuhan Demi “Kehormatan Keluarga”
Kekerasan terhadap perempuan di negara-negara dengan norma tradisional sering kali berkaitan dengan konsep menjaga kehormatan keluarga. Insiden ini terjadi pada Selasa (8/7) dan menunjukkan bagaimana individualitas seorang remaja bisa berkonflik dengan harapan yang diletakkan di pundak mereka oleh orangtua. Awalnya, keluarga berusaha menyamarkan kejadian ini sebagai bunuh diri. Namun, penyelidikan mengungkap fakta yang lebih kelam—ini adalah pembunuhan.
Tindakan kekerasan ini bukanlah kejadian yang terisolasi. Di Pakistan, perempuan sering kali menjadi korbannya karena tidak mematuhi norma-norma perilaku. Fenomena ini berakar dalam budaya yang menganggap kehormatan sebagai sesuatu yang bisa tercoreng oleh perilaku individu, terutama perempuan. Kasus lain yang relevan adalah pembunuhan seorang influencer TikTok 17 tahun, yang tewas setelah menolak cinta seorang pria. Situasi ini semakin memperlihatkan risiko yang dihadapi perempuan di ranah publik dan media sosial.
Media Sosial dan Ketimpangan Hak Perempuan
Meskipun aplikasi TikTok menjadi sumber kreativitas dan pendapatan bagi banyak perempuan di Pakistan, ketimpangan yang ada dalam akses teknologi jelas terlihat. Hanya sekitar 30 persen perempuan di Pakistan yang memiliki smartphone, berbeda jauh dengan 58 persen pria. Ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial dapat memberikan peluang, aksesnya tidak merata dan seringkali dipengaruhi oleh faktor gender.
Kepopuleran TikTok di kalangan remaja perempuan, yang ingin mengekspresikan diri, juga memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat konservatif. Pemerintah Pakistan melalui otoritas telekomunikasi berulang kali menghadapi kebutuhan untuk membatasi akses ke platform-platform ini, dengan alasan konten yang dianggap tidak bermoral. Hal ini menimbulkan dilema: di satu sisi, media sosial memberikan suara kepada perempuan, namun di sisi lain, mereka menghadapi risiko kekerasan ketika suara mereka dianggap melanggar norma.
Kasus pembunuhan ini menciptakan pertanyaan mendasar tentang bagaimana masyarakat dapat menghargai kebebasan individu sambil tetap menghormati norma sosial. Seiring dengan meningkatnya akses teknologi, konflik antara generasi muda dan generasi tua akan semakin nyata. Oleh karena itu, penting untuk terus dialog terbuka mengenai masalah semacam ini, agar dapat tercipta ruang yang aman bagi semua pihak.